TRADISI PENTI, BENTUK SYUKUR ORANG MANGGARAI ATAS HASIL PANEN
Secara geografis,
Manggarai terletak di Flores bagian barat. Bagian utara berbatasan dengan laut
Flores, bagian selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian timur berbatasan
dengan kabupaten Ngada, bagian barat berbatasan dengan kabupaten Bima, Nusa
Tenggara Barat. Saat ini, wilayah Manggarai terbagi dalam tiga kabupaten yaitu:
kabupaten Manggarai dengan ibukota Ruteng; kabupaten Manggarai Barat dengan
ibukota Labuan Bajo; kabupaten Manggarai Timur dengan ibukota Borong. Secara
topografis, tanah Manggarai merupakan tanah berbukit-bukit dan juga memiliki
dataran lapang yang merupakan daerah yang cocok untuk area persawahan. Rumah
adat (Mbaru Gendang) Manggarai adalah simbol antropologis dengan ijuk dibagian
bawah tanduk kerbau (rangga Kaba) melambangkan diikatkan dengan bahasa lambang
dan bahasa tanda.
“Penti” merupakan salah satu upacara adat bagi orang
Manggarai, Flores NTT yang hingga kini masih dilestarikan. Penti adalah sebuah
ritual adat yang memliki makna yang luhur sebagai ucapan syukur kepada Tuhan
YME dan leluhur atas hasil panen juga sebagai medium rekonsiliasi atau
perdamaian antar warga kampung. Setiap ajang perayaan ritual adat Penti,
seluruh warga yang menetap di kampung maupun mereka yang berdomisili di luar
daerah berkumpul bersama-sama untuk merayakannya. Penti biasanya dirayakan pada
Bulan Agsutus – September setiap tahunnya. Ritual Penti dilakukan secara
bersama oleh penghuni kampung berpusat di rumah gendang dengan mempersembahkan
hewan kurban seperti babi atau kerbau tergantung pada skala kebutuhan dan
jumlah tamu yang diundang. Upacara Penti biasanya dimulai dari ritus yang
diadakan di luar rumah seperti di area lingko, wae tiku, boa (kuburan) dan
compang (altar panembahan) hingga pada Mbaru Gendang (rumah adat) atau tembong.
We’ang Boa (membersihkan kubur), arwah diundang mengikuti acara penti. Warga
menghantar leluhur menuju rumah utama yaitu rumah gendang. Dalam perjalanan
menuju rumah gendang akan menyinggahi batu pantas (watu pantas) sebagai simbol
pertobatan bagi para pendosa. Selanjutnya akan menyinggahi compang (altar)
sebagai konklusi dari barong wae, barong oka, dan roi boa (bersih kubur). Dan
peristiwa menghantar leluhur menuju rumah gendang adalah sangat sakral. Torok
Manuk atau doa dengan mengambil seekor ayam jantan yang disampaikan oleh tetua
adat sebelum hewan kurban disembelihkan. Selanjutnya hati dari hewan kurban
tersebut diambil untuk diperlihatkan bentuk garis urat dan volume isinya. Tetua
adat mengetahui pesan yang disampaikan leluhur berdasarkan garis urat dan
volume hati hewan kurban tersebut. Misalnya apabila pada tahun yang akan
datang, penduduk kampungakan memperoleh hasil panen yang berlimpah maka hati
hewan kurban tersebut terlihat sangat penuh dan berisi, ataupun sebaliknya.
Acara Penti dimeriahkan dengan Caci, yaitu tarian oleh
sepasang pria, saling mencambuk. Tarian ini dipentaskan di tengah lapang. Caci
ini akan semakin seru dan seni kalau lawan menumpahkan darah. Tak ada yang
kalah dan menang dalam caci, yang ada adalah persahabatan yang akrab dan seni.
Akrab dan seni ini harus dibuktikan dengan luka di badan dan menumpahkan darah
ke tanah. Upacara ini berlangsung beberapa hari menjelang dan setelah hari
pertama pada pergantian tahun. Pada malam harinya diadakan upacara pemberkatan
terhadap rumah gendang dan setiap kamar dalam rumah gendang. Setelah dari rumah
gendang, warga akan kembali ke rumah masing-masing untuk melakukan acara di
rumahnya sendiri. Setelah ritual di rumah sendiri-sendiri, warga kampung akan
kembali ke rumah gendang dan mengadakan Sanda, Mbata atau Congka sebela/sa’e,
yaitu tarian dan lagu-lagu adat sampai pagi hari. Semua warga tidak
diperbolehkan untuk tidur.
Upacara adat merupakan upacara adat sebagai ritual
kolektif memiliki peran dalam menjaga eksistensi kolektif masyarakat adat
sebagai budaya bangsa. Oleh karena itu, sebagai generasi muda diharapkan
memiliki kesadaran atas kekayaan budaya sendiri dan diharapkan memiliki sikap
moral dan etika yang dijunjung tinggi, kebersamaan dan kegotong-royongan,
penguatan empati kemanusiaan, harmoni dan toleran dalam keragaman, serta
menjunjung tinggi keberadaan dan keberlangsungan alam tempat tinggal mereka.
Harapan selanjutnya dengan bertambahnya pengetahuan anak-anak bangsa akan
budaya daerah, semakin dikembangkanlah sikap menghargai kekayaan budaya
nasional.
.
BalasHapus